BAB I
PENDAHULUAN
Pada wacana
pemikiran kaum intelektual muslim Mesir ini, sekitar awal abad ke-14 Hijriyah
atau abad ke-19 Masehi, terjadi polemik besar antara kaum pembaharu dan kaum
tradisional. Di satu sisi, kaum pembaharu berusaha keras agar dapat menghadapkan
dan membawa Islam kepada persoalan-persoalan kontemporer yang tidak pernah
muncul pada zaman klasik, sedangkan di sisi lain kaum tradisionalis sama sekali
menolak ide pembaharuan tersebut dan mereka menangkapnya dengan penuh
kecurigaan bahkan mereka menganggap bahwa ide pembaharuan hanyalah merupakan
sebuah ide besar berbau Barat yang akan menghancurkan prinsip-prinsip ajaran
Islam, padahal bagi para pembaharu, upaya tajdid ini adalah sebuah keniscayaan
(necessity), karena tanpanya, Islam tidak akan dapat menyentuh
persoalan-persoalan baru. Akan tetapi, pembaharuan yang dilakukan harus tetap
memperhatikan prinsip-prinsip pokok Islam yang tidak dapat berubah (tsawâbit). Tentu saja arah berlawanan ini menimbulkan polemik besar
dan berkepanjangan.
Akan tetapi,
akhirnya polemik tersebut mulai menjinak dengan munculnya beberapa pemikir baru
Mesir pada awal abad ke-20 yang di antaranya adalah Dr. Yusuf Qardhawi.[1]
Dalam kesempatan
ini penulis akan mencoba menjelaskan tokoh Yusuf Qordhawi dengan metode-metode
beliau dalam memahami hadis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Yūsuf al-Qaradāwī
1. Kelahiran
dan Pendidikan Yūsuf al-Qaradāwī
Dalam buku autobiografinya, Yusuf Qaradhawi memulai
menceritakan kelahirannya dengan mengatakan :
“Kami
tidak pernah berkeinginan atau berharap agar dilahirkan dan dibesarkan di
sebuah kota besar seperti Kairo, yang merupakan tempat kelahiran Ahmad Amin; di
Damaskus yang merupakan tempat kelahiran Ali Thathawi, sehingga kami dapat
bercerita panjang mengenai keistimewaan dan keindahan kota kelahiran kami.
Kenyataannya, kami dilahirkan dan dibesarkan di sebuah kampung terpencil yang
terdapat di pedalaman Mesir dan jauh dari hiruk pikuk kota modern”.
Qaradhawi
dilahirkan di sebuah desa di Republik Arab Mesir pada tahun 1926. Dia lahir
dalam keadaan yatim. Oleh sebab itulah dia dipelihara oleh pamannya. Pamannya
yang mengantarkan Qaradhawi kecil ke surau tempat mengaji. Di tempat itu
Qaradhawi terkenal sebagai seorang anak yang sangat cerdas. Dengan kecerdasannya
ia mampu menghafal al-Qur'an dan menguasai hukum-hukum tajwidnya dengan sangat
baik. Itu terjadi pada saat dia masih berada di bawah umur sepuluh tahun.
Orang-orang di desa itu telah menjadikan dia sebagai imam dalam usianya yang
relatif muda, khususnya pada saat salat subuh. Sedikit orang yang tidak
menangis saat salat di belakang Qaradhawi. Setelah itu dia bergabung dengan
sekolah cabang al-Azhar[2].
Ketika berusia
lima tahun, Yusuf Qaradawi dididik menghafal al-Qur'an secara intensif oleh
pamannya dan pada usia sepuluh tahun ia sudah menghafal seluruh al-Qur'an
dengan fasih. Dia menyelesaikan sekolah dasar dan menengahnya selalu menempati
ranking pertama. Kecerdasannya telah tampak sejak dia kecil, hingga salah
seorang gurunya memberi gelar dengan "allamah" (sebuah gelar yang
biasanya diberikan pada seseorang yang memiliki ilmu yang sangat luas). Dia
meraih ranking kedua untuk tingkat nasional, Mesir, pada saat kelulusannya di
Sekolah Menengah Umum. Padahal saat itu dia pernah dipenjarakan.
Setelah itu beliau
masuk Fakultas Ushuludin di Universitas al-Azhar. Dari al-Azhar ini dia lulus
sebagai sarjana S1 pada tahun 1952. Beliau meraih ranking pertama dari
mahasiswa yang berjumlah seratus delapan puluh. Kemudian ia memperoleh ijazah
setingkat S2 dan memperoleh rekomendasi untuk mengajar dari fakultas Bahasa dan
Sastra pada tahun 1954. Dia menduduki ranking pertama dari tiga kuliah yang ada
di al-Azhar dengan jumlah siswa lima ratus orang. Pada tahun 1958 dia
memperoleh ijazah diploma dari Ma'had Dirasat al-Arabiyah al-Aliyah dalam
bidang bahasa dan sastra. Sedang di tahun 1960 dia mendapatkan ijazah setingkat
Master di jurusan Ilmu-ilmu al-Qur'an dan Sunnah di Fakultas Ushuluddin.
Yūsuf al-Qaradāwī
terlambat dalam meraih gelar doktor dari yang diperkirakan semula karena ia
sempat meninggalkan Mesir akibat kejamnya rezim yang berkuasa saat itu. Pada
tahun 1961 beliau menuju Qatar, di sana Yūsuf al-Qaradāwī sempat mendirikan fakultas Syari’ah di
Universitas Qatar. Pada saat yang sama Yūsuf al-Qaradāwī mendirikan Pusat
Kajian Sejarah dan Sunnah Nabi.
Sebab yang lain
yaitu pada tahun 1968-1970, Yūsuf al-Qaradāwī ditahan oleh penguasa militer
Mesir atas tuduhan mendukung pergerakan Ikhwanul Muslimin. Setelah keluar dari
tahanan, beliau hijrah ke Daha, Qatar yang kemudian dijadikan sebagai tempat
tinggalnya.
Dalam perjalan
hidupnya, Yūsuf al-Qaradāwī pernah mengenyam pendidikan penjara sejak dari
mudanya. Saat Mesir dipegang Raja Faruk, ia masuk bui tahun 1949, saat umurnya
masih 23 tahun, karena keterlibatannya dalam pergerakan al-Ikhwan al-Muslimun.
Pada April tahun 1956, ia ditangkap lagi saat terjadi revolusi Juni di Mesir.
Bulan Oktober Yūsuf al- Qaradāwī kembali mendekam di penjara militer selama dua
tahun.[3]
Pada tahun 1973
dia berhasil meraih gelar Doktor dengan peringkat summa cum laude dengan disertasi yang
berjudul Az-Zakat wa Atsaruha fi Hill
al-Masyakil al-Ijtimaiyyah (Zakat dan Pengaruhnya dalam Memecahkan
Masalah-masalah Sosial Kemasyarakatan).
B.
Karya-karya Yūsuf al-Qaradāwī
Sebagai seorang ilmuwan dan dai’,
al-Qaradhawi juga aktif menulis berbagai artikel keagamaan di berbagai media
cetak, melakukan penelitian tentang Islam
di berbagai dunia Islam maupun di
luar dunia Islam.
Dalam kapasitasnya sebagai
seorang ulama kontemporer, beliau banyak menulis buku dalam berbagai masalah
pengetahuan Islam.
M. Hidayat Nur Wahid menyebutkan bahwa karya-karya Yusuf al-
Qardhawi mencapai 84 judul, sebagian besar telah diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia, sebagian lagi bahkan
diterbitkan oleh lebih dari satu penerbit dan dicetak berulang-ulang, seperti karya monumentalnya, yaitu
kitab Fiqh Zakat.[4]
Di bawah ini akan dikelompokkan karya-karya Yusuf al-Qardhawi menjadi
beberapa bagian menurut bidang yang dikaji, diantaranya adalah sebagai berikut:
Di antara karya-karyanya yang paling populer di kalangan
perguruan tinggi dan pesantren ialah[5]:
a.
Al-Halāl
wa al- Harām fi al-Islām (tentang masalah yang halal dan haram dalam Islam)
b. Fiqh az-Zakāh (berbagai masalah
zakat dan hukumnya)
c. Al-Ibadah fi
al-Islām
(hal ihwal ibadah dalam Islam)
d. An-Nas wa al-Haqq (tentang manusia
dan kebenaran)
e. Al-Iman wa
al-Hayah
(mengenai keimanan dan kehidupan)
f. Al-Hulul
al-Mustauradah (paham
hulul [Tuhan mengambil tempat pada diri manusia] yang diimpor dari non Islam)
g. Al-Hill al-Islām (kebebasan Islam)
h. Syarī’ah al-Islām Sālihha li
at-Tatbīq fi Kulli Zamānin wa Makānin (mengenai syari’at islam,
elastisitas dan kesesuaian dalam penerapannya pada setiap masa dan tempat)
i. Al-Ijtihād fi
asy-Syarī’ah al-Islāmiyyah (ijtihad dalam syari’at Islam)
j. Fiqh as-Siyam (fikih puasa).
C.
Hadis Dalam Pandangan Yusuf Qardhawi
Di antara para pemikir kontemporer, al-Qardhawi
memberikan penjelasan yang luas tentang bagaimana pemikirannya tentang
hadis yang dikembangkan menjadi metode sistematis untuk menilai otentisitas
hadis. Menurut al-Qardhawi, sunnah nabi mempunyai 3 karakteristik, yaitu
komprehensif (manhaj syumul), seimbang (manhaj mutawazzun), dan
memudahkan (manhaj muyassar). Ketiga karakteristik ini akan mendatangkan
pemahaman yang utuh terhadap suatu hadis.
Atas dasar inilah maka al-Qardhawi menetapkan tiga hal juga
yang harus dihindari dalam berinteraksi dengan sunnah, yaitu pertama,
penyimpangan kaum ekstrim; kedua, manipulasi orang-orang sesat, (intihal
al-mubthilin), yaitu pemalsuan terhadap ajaran-ajaran Islam, dengan membuat
berbagai macam bid’ah yang jelas bertentangan dengan akidah dan syari’ah;
ketiga, penafsiran orang-orang bodoh (ta’wil al-jahilin). Oleh sebab
itu, pemahaman yang tepat terhadap sunnah adalah mengambil sikap moderat (wasathiya),
yaitu tidak berlebihan atau ekstrim, tidak menjadi kelompok sesat, dan tidak
menjadi kelompok yang bodoh.
D.
Metode Pemahaman Hadis Yusuf
al-Qardhawi
Untuk merealisasikan metodenya, Yusuf Qardhawi menerapkan
prinsip-prinsip dasar yang harus ditempuhnya ketika berinteraksi dengan sunnah[6],
yaitu;
1.
Meneliti kesahihan hadis
sesuai dengan acuan umum yang ditetapkan oleh pakar hadis yang dapat di
percaya, baik sanad maupun matan.
2.
Memahami sunnah sesuai dengan
pengetahuan bahasa, konteks, asbab al-wurud teks hadis untuk menentukan makna
suatu hadis yang sebenarnya.
3.
Memastikan bahwa sunnah yang
dikaji tidak bertentangan dengan nash-nash yang lebih kuat.
Adapun untuk melakukan prinsip-prinsip dasar itu, maka
Al-Qardhawi mengemukakan 8 langkah yaitu;
a.
Memahami Hadis Sesuai dengan Petunjuk
al-Qur’an.
Menurut Al-Qardhawi, untuk memahami suatu hadis dengan benar
harus sesuai dengan petunjuk al-Qur’an. Karena terdapat hubungan yang
signifikan antara hadis dengan al-Qur’an. Oleh karena itu tidak mungkin
kandungan suatu hadis bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang muhkam, yang
berisi keterangan-keterangan yang jelas dan pasti.
Pertentangan tersebut bisa saja terjadi karena hadis
tersebut tidak sahih, atau pemahamannya yang kurang tepat, atau yang dianggap
bertentangan itu bersifat semu dan bukan hakiki. Dengan demikian, menurut
Al-Qardhawi, setiap muslim diharuskan untuk mentawaqqufkan hadis yang terkesan
bertentangan dengan ayat-ayat muhkam, selama tidak ada penafsiran (ta’wil) yang
dapat diterima.
Dalam hal ini, Al-Qardhawi mengemukakan contoh hadis tentang
nisab tanaman yang wajib dikeluarkan zakatnya. Yang dijadikan dasar para ulama
fikih untuk membatasi jenis atau macam tanaman tertentu (bukan berbentuk
sayuran) yang wajib dikeluarkan zakatnya. Hadis itu bertentangan dengan
al-Qur’an Q.S. Al-An’am (6): 41. Di samping itu, Al-Qardhawi tidak menyetujui
pemahaman yang menganggap bahwa tidak diwajibkannya zakat atas sayuran karena
cepat rusak sehingga tidak dapat di simpan di bait al-mal terlalu lama
b.
Menghimpun Hadis-Hadis yang
Setema.
Menurut Al-Qardhawi, untuk menghindari kesalahan dalam
memahami kandungan hadis yang sebenarnya perlu menghadirkan hadis-hadis lain
yang setema. Adapun prosedurnya ialah dengan menghimpun hadis sahih yang setema
kemudian mengembalikan kandungan hadis yang mutasyabih kepada yang muhkam,
mengantarkan yang mutlaq kepada yang muqayyad, yang ‘am ditafsirkan dengan yang
khas. Hal ini dikarenakan posisi hadis untuk menafsirkan al-qur’an, dan
menjelaskan maknanya, maka sudah pasti bahwa ketentuan-ketentuan tersebut harus
berlaku bagi hadis secara keseluruhan.
Dalam hal ini, Al-Qardhawi menguraikan contoh sebuah hadis
tentang hukum pertanian. Pertama-tama beliau mengemukakan hadis yang mencela
orang yang membawa alat pertanian masuk rumah.
Dari abu ‘Umamah al-Bahili ketika melihat alat untuk
membajak, ia berkata; saya mendengar Nabi saw bersabda :
لايدخل هذا
بيت قوم
إلا أدخله
الله الذلّ
(‘Tidak akan masuk (alat) ini ke dalam rumah suatu kaum,
kecuali Allah pasti memasukkan kehinaan ke dalamnya)
Setelah
itu, ia mengemukakan pula hadis-hadis yang menunjukkan keutamaan bercocok
tanam, diantaranya;
ما
من مسلم يغرس غرسا او يزرعزرعا فيأكل منه طير او إنسان أو بهيمة إلاّ كان له به
صدقة
(Tidak seorang Muslim menanam tanaman, lalu buahnya
dimakan burung atau manusia atau binatang, kecuali ia pasti beroleh sedekah.)
c.
Kompromi atau Tarjih terhadap
Hadis-Hadis yang Kontradiktif.
Dalam pandangan Al-Qardhawi, pada dasarnya nash-nash
syari’at tidak akan saling bertentangan. Pertentangan yang mungkin terjadi
adalah bentuk lahiriyahnya bukan dalam kenyataan yang hakiki. Adapun solusi
yang ditawarkan Al-Qardhawi adalah, al-jam’u (penggabungan atau
pengkompromian). Bagi Al-Qardhawi, hadis yang tampak bertentangan dengan hadis
yang lain dapat dilakukan dengan cara mengompromikan hadis tersebut.
Dalam hal ini, Al-Qardhawi memberikan sebuah contoh hadis
tentang larangan ziarah kubur bagi perempuan. “Dari abu Hurairah, bahwa
Rasulullah saw melaknat kaum perempuan yang sering menziarahi kuburan.” Hadis
ini sahih. Diriwayatkan juga dari Ibnu ‘Abbas dan Hasan ibn Sabit dengan lafaz
“nabi melaknat para perempuan peziarah kuburan”.
Walaupun demikian, ada hadis-hadis lainnya yang isinya
berlawanan dengan hadis hadis-hadis di atas. Yakni yang dapat dipahami darinya,
bahwa kaum perempuan diizinkan menziarahi kuburan, sama seperti laki-laki.
Diantara riwayatnya adalah
كنت نهيتكم عن
زيارة القبور, فزورها او زوروا القبور فإنها تذكر الموت
(Aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan, kini
ziarahlah” atau “ziarahilah kuburan-kuburan, sebab itu akan mengingatkan kepada
maut).
d.
Memahami Hadis Sesuai dengan
Latar Belakang, Situasi dan Kondisi serta Tujuannya.
Menurut Al-Qardhawi, dalam memahami hadis nabi, dapat
memperhatikan sebab-sebab atau latar belakang diucapkannya suatu hadis atau
terkait dengan suatu illat tertentu yang dinyatakan dalam hadis, atau
dipahami dari kejadian yang menyertainya. Hal demikian mengingat hadis nabi
dapat menyelesaikan problem yang bersifat lokal, partikular, dan temporer.
Dengan mengetahui hal tersebut seseorang dapat melakukan pemahaman atas apa
yang bersifat khusus dan yang umum, yang sementara dan abadi. Dengan
demikian, menurut Al-Qardhawi, apabila kondisi telah berubah dan tidak ada
illat lagi, maka hukum yang berkenaan dengan suatu nas akan gugur dengan
sendirinya. Hal itu sesuai dengan kaidah hukum berjalan sesuai dengan illatnya,
baik dalam hal ada maupun tidak adanya. Maka yang harus dipegang adalah maksud
yang dikandung dan bukan pengertian harfiyahnya.
e.
Membedakan antara Sarana yang
Berubah-ubah dan Tujuan yang Tetap.
Menurut Al-Qardhawi, memahami hadis nabi harus memperhatikan
makna substansial atau tujuan, sasaran hakekat teks hadis tersebut, sarana yang
tampak pada lahirnya hadis dapat berubah-ubah. Untuk itu tidak boleh
mencampuradukkan antara tujuan hakiki yang hendak dicapai hadis dengan sarana
temporer atau lokal. Dengan demikian, bila suatu hadis menyebutkan sarana
tertentu untuk mencapai tujuan, maka sarana tersebut tidak bersifat mengikat,
karena sarana tersebut ada kalanya berubah karena adanya perkembangan zaman,
adat dan kebiasaan.
f.
Membedakan antara yang
Hakekat dan Ungkapan
Teks-teks hadis banyak sekali yang menggunakan majas atau
metafora, karena rasulullah adalah orang Arab yang menguasai balaghah. Rasul
menggunakan majas untuk mengemukakan maksud beliau dengan cara yang sangat
mengesankan. Adapun yang termasuk majas adalah; majas lughawi, aqli, isti’arah.
Misalnya hadis tentang sifat-sifat Allah. Hadis semacam ini tidak bisa secara
langsung dipahami, tapi harus perhatikan berbagai indikasi yang menyertainya,
baik yang bersifat tekstual ataupun kontekstual.
g.
Membedakan antara yang Gaib
dan yang Nyata.
Dalam kandungan hadis ada hal-hal yang berkaitan dengan alam
gaib, misalnya hadis yang menyebutkan tentnag makhluk-mahluk yang tak dapat
dilihat seperti malaikat, jin, syetan, iblis, ‘ars, kursy, qalam dan
sebagainya. Terhadap hadis-hadis tentang alam gaib, Al-Qardhawi sesuai dengan
Ibnu Taimiyah, yaitu menghindari ta’wil serta mengembalikan itu kepada Allah
tanpa memaksakan diri untuk mengetahuinya
h.
Memastikan Makna Kata-kata dalam Hadis
Untuk dapat memahami hadis dengan sebaik-baiknya, menurut
Al-Qardhawi penting sekali untuk memastikan makna dan konotasi kata-kata yang
digunakan dalam susunan hadis, sebab konotasi kata-kata tertentu adakalanya
berubah dalam suatu masyarakat ke masyarakat lainnya.
E.
Pro-Kontra Seputar Pemikiran
Qardhawi
Pada konteks inilah kita akan memahami pihak-pihak yang
berseberangan dengan Qardhawi. Di antara para ulama yang mengkritik Qardhawi
dengan ilmu dan menghargai seluruh usahanya adalah Syaikh Nashiruddin al-Albani
(peneliti hadits terbesar abad 20), Syaikh Abdullah bin Beh dan Syaikh Rasyid
al-Ghanusi. Untuk mengkritik Qardhawi, Syaikh al-Albani, menulis sebuah buku
yang berjudul Ghâyah al-Marâm fî Takhrîj Hadîts al-Halâl wa al-Harâm. Pada buku
ini beliau berusaha meneliti (takhrîj) kesahihan hadis-hais yang digunakan
Qardhawi dalam bukunya yang berjudul al-Halâl wa al-Harâm fî al-Islâm. Selain
itu, menurut Isham Talimah, kelompok yang keras mengkritik pemikiran Qardhawi
adalah mereka yang menamakan diri sebagai kaum Salafî. Ia telah menemukan ada
oknum mereka yang menulis sebuah buku yang berjudul al-Qardhâwi fî al-Mîzân.
Buku ini beredar luas di Sudi Arabia. Isham Talimah mengatakan, bahwa ia pernah
bertanya mengenai persoalan ini kepada salah seorang pejabat Konsul Saudi
Arabia di Qathar. Ternyata ia menjawab bahwa buku
tersebut ditulis oleh seseorang yang tidak dikenal, karena ulama-ulama Saudi
sangat respek terhadap pemikiran Qardhawi. Buku ini telah dijawab dengan ilmiah
dan penuh tangung jawab oleh salah seorang mantan hakim Syari’ah Qathar, Syaikh
Walid Hadi.[7]
Salah seorang yang menuduhnya menyimpang adalah Abu Afifah.
Dalam sebuah artikelnya; ''Siapakah Yusuf Al-Qardhawi, Abu Afifah menyebutkan
Qardhawi sebagai seorang ahlul bid'ah. ''Sesungguhnya bencana yang tengah
menimpa umat dewasa ini adalah menjamurnya kelompok-kelompok orang yang berani memanipulasi
(memalsukan) "selendang ilmu" dengan mengubah bentuk syari'at Islam
dengan istilah "tajdidi" (pembaharuan) , mempermudah sarana-sarana
kerusakan dengan istilah "fiqih taysiir" (fiqih penyederahanaan masalah),
membuka pintu-pintu kehinaan dengan kedok "ijtihad" (upaya keras untuk
mengambil konklusi hukum Islam), melecehkan sederet sunnah-sunnah Nabi
dengan kedok "fiqih awlawiyyat" (fiqih prioritas), dan berloyalitas
(menjalin hubungan setia) dengan orang-orang kafir dengan alasan
"memperindah corak (penampilan) Islam".
kerusakan dengan istilah "fiqih taysiir" (fiqih penyederahanaan masalah),
membuka pintu-pintu kehinaan dengan kedok "ijtihad" (upaya keras untuk
mengambil konklusi hukum Islam), melecehkan sederet sunnah-sunnah Nabi
dengan kedok "fiqih awlawiyyat" (fiqih prioritas), dan berloyalitas
(menjalin hubungan setia) dengan orang-orang kafir dengan alasan
"memperindah corak (penampilan) Islam".
Selain Abu Afifah,
masih banyak tokoh lain yang meminta agar umat Islam
berhati-hati terhadap setiap gagasan Qardhawi. Diantaranya Syeikh Shalih Alu
Fauzan, yang mengkritik kitab yang ditulis Qardhawi (Al-I'laam binaqdi
Al-Kitab Al-Halal wa Al-Haram (Kritik terhadap kitab Halal dan Haram karya
Yusuf Qardhawi) dan Syeikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'iy pengarang kitab Ar-Raddu 'Ala Al-Qardhawi, serta Sulaiman bin Shalih Al-Khurasyi.[8]
berhati-hati terhadap setiap gagasan Qardhawi. Diantaranya Syeikh Shalih Alu
Fauzan, yang mengkritik kitab yang ditulis Qardhawi (Al-I'laam binaqdi
Al-Kitab Al-Halal wa Al-Haram (Kritik terhadap kitab Halal dan Haram karya
Yusuf Qardhawi) dan Syeikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'iy pengarang kitab Ar-Raddu 'Ala Al-Qardhawi, serta Sulaiman bin Shalih Al-Khurasyi.[8]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Dalam memahami hadis Yusuf
al-Qardhawi, menggunakan beberapa metode diantaranya yaitu :
-
Memahami Hadis Sesuai dengan Petunjuk al-Qur’an.
-
Menghimpun Hadis-Hadis yang Setema.
-
Kompromi atau Tarjih terhadap Hadis-Hadis
yang Kontradiktif.
-
Memahami Hadis Sesuai
dengan Latar Belakang, Situasi dan Kondisi serta Tujuannya.
-
Membedakan
antara Sarana yang Berubah-ubah dan Tujuan yang Tetap.
-
Membedakan antara yang Hakekat dan Ungkapan
-
Membedakan antara yang Gaib dan yang Nyata.
-
Memastikan Makna Kata-kata dalam Hadis
DAFTAR PUSTAKA
Fatimah, Siti, 2009, dalam skripsinya “Metode Pemahaman Hadis
Nabi Dengan Mempertimbangkan Asbabul Wurud” (Studi Komparasi Pemikiran
Yusuf al-Qaradhawi dan M. Syuhudi Ismail) Jurusan Tafsir Dan Hadis Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Mashudi, 2010,dalam skiripsinya “Analisis Pendapat Yusuf Qaradawi
Tentang Menyerahkan Zakat Kepada Penguasa Yang Zalim Dalam Kitab Fiqhuz Zakat”
Jurusan Muamalah Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang , hal 37.
http://dulbedul-lukmanhakim.blogspot.com/2007/11/yusuf-qardhawi biografi - fatwa-karya.html, Diakses tanggal
30/10/13
http://muizngebloger.blogspot.com/2012/10/biografi-dan-pemikiran-yusuf-al.html. Diakses tanggal 30/10/13
hamdanhusein.files.wordpress.co/, Diakses tanggal 30/10/13 Pukul 10.45 WIB
[1] http://dulbedul-lukmanhakim.blogspot.com/2007/11/yusuf-qardhawi-biografi-fatwa-karya.html, Diakses tanggal
30/10/13 Pukul 10.45 WIB
[2] Mashudi, 2010,dalam skiripsinya “Analisis Pendapat Yusuf
Qaradawi Tentang Menyerahkan Zakat Kepada Penguasa Yang Zalim Dalam Kitab
Fiqhuz Zakat” Jurusan Muamalah Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang ,
hal 37.
[3] http://muizngebloger.blogspot.com/2012/10/biografi-dan-pemikiran-yusuf-al.html.
Diakses tanggal 30/10/13 Pukul 10.45 WIB
[4] Siti Fatimah,
2009, dalam skripsinya “Metode Pemahaman Hadis Nabi Dengan Mempertimbangkan
Asbabul Wurud” (Studi Komparasi Pemikiran Yusuf al-Qaradhawi dan M. Syuhudi
Ismail) Jurusan Tafsir Dan Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri
Sunan Kalijaga Yogyakarta
[7] Ibid hal 1.
mas ijin mengutip makalahnya
BalasHapusCasinos in Malaysia - Lucky Club Live
BalasHapusLucky Club Casino. A well-known and well-known venue in luckyclub the entertainment industry, this one is a venue located in the heart of Jalan and provides
Golden Nugget Hotel & Casino - Mapyro
BalasHapusWelcome to Golden Nugget Hotel 포항 출장샵 & Casino. 수원 출장샵 This 5-star 계룡 출장마사지 Las 출장마사지 Vegas Strip resort offers a full-service spa, 경산 출장마사지 a casino, and a spa centre.